Maca

Kajat : Dari Tradisi Menuju Masalah Sosial

Oleh : Syibli Maufur*

ilustrasi

Fenomena Kajat di Masjid Sang Cipta Rasa Kesepuhan Cirebon merupakan kebiasaan anak-anak sekitar masjid yang meminta sedekah kepada para jamaah atau pengunjung dengan mengucapkan kalimat khas, “Sholawate Bu/Pak, seikhlasnya.” Awalnya, tradisi ini tumbuh sebagai bagian dari budaya religius lokal, di mana praktik meminta-minta dibalut dengan nuansa ibadah dan kesopanan. Memberi sedekah pun dianggap sebagai amal saleh yang berpahala.

Jika ditinjau dari sisi bahasa, istilah “kajat” diduga berasal dari dialek lokal Cirebon yang merujuk pada aktivitas meminta-minta atau mengajukan hajat (permohonan). Dalam terminologi sosial, kajat merupakan bagian dari praktik sedekah spontan yang dibungkus dengan sapaan religius, meskipun dalam praktiknya cenderung bergeser menjadi kebiasaan mengemis yang kurang terkontrol.

Salah satu warga yang dahulu pernah ikut melakukan kajat, Abi (47 tahun), menceritakan pengalamannya.
” Dulu waktu kecil, kami cuma minta kalau ada acara besar, seperti Maulid atau Jumat Kliwon. Itu pun dengan sopan, sekadar untuk menambah uang jajan. Sebenarnya orang tua kami sering melarang supaya tidak kajat, apalagi kalau sampai memaksa. Mereka selalu bilang, jangan sampai bikin malu keluarga atau mengganggu tamu masjid. Kalau ketahuan, pasti langsung dimarahi. Jadi kami paham batasannya dan tetap menjaga sikap,” jelasnya. Bagi mereka, tradisi ini lebih kepada kebersamaan anak-anak sekitar masjid sambil menikmati keramaian, tanpa ada niat mengganggu atau meresahkan jamaah.

Namun, menurut salah satu Kaum/ pengurus Masjid Sang Cipta Rasa, saat ini situasinya jauh berbeda.
“Sekarang yang datang bukan lagi anak-anak sini. Banyak pendatang dari luar kota, dan hampir tiap hari ada. Mereka berjejer di pintu masuk masjid, kadang sampai bikin jamaah risih. Kita sudah sering menertibkan, tapi datang lagi,” ungkapnya. Ia pun menegaskan perlunya pengaturan agar kawasan masjid tetap nyaman untuk ibadah dan wisata religi.

Fenomena kajat ini bahkan semakin ramai terutama menjelang malam Jumat Kliwon, saat banyak peziarah datang untuk beribadah dan ngalap berkah. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh para pengemis untuk memenuhi area pintu masuk masjid, menghadirkan kesan kumuh dan mengganggu kenyamanan para jamaah serta wisatawan religi.

Menurut Nasruddin (2018: 122), praktik sosial seperti ini “sering muncul dari adaptasi masyarakat kecil yang memanfaatkan ruang ibadah untuk peluang ekonomi, namun rentan melahirkan masalah etika.” Hal ini sejalan dengan pendapat Rahman (2020: 88) yang menyebut bahwa “ketika kawasan suci berubah fungsi menjadi ruang ekonomi informal, maka sakralitasnya pun ikut terancam.”

Kini, kajat bukan lagi sekadar tradisi, tetapi telah menjadi masalah sosial yang nyata. Pengurus Masjid Sang Cipta Rasa sebenarnya telah berupaya melakukan penertiban dengan berbagai cara agar aktivitas kajat ini bisa dikendalikan, terutama untuk menjaga kenyamanan jamaah dan penghormatan terhadap kesucian masjid. Namun, tantangan masih tetap ada, terutama karena semakin banyaknya pendatang dari luar kampung sekitar bahkan luar daerah yang turut melakukan kajat, sehingga memerlukan perhatian lebih lanjut dan dukungan dari pihak terkait.

Melihat kondisi ini, solusi sederhana yang mungkin dilakukan adalah memperkuat koordinasi antara pengurus masjid dengan pemerintah daerah, terutama melalui pembinaan oleh dinas sosial dan penertiban oleh Satpol PP. Dengan pendekatan yang lebih terstruktur, diharapkan kawasan masjid dapat kembali tertib, nyaman, dan tetap menjadi ruang ibadah yang khusyuk tanpa terganggu aktivitas mengemis yang berlebihan.(dikemas kembali by @Toh 07-03-2025)

Wallahu a’lam bish-shawab.

Daftar Pustaka

  • Nasruddin. (2018). Tradisi Sosial dan Ekonomi di Kawasan Religi. Yogyakarta: Pustaka Nusantara.
  • Rahman, F. (2020). Teknologi Air dan Sosial Ekonomi Kesultanan Cirebon. Cirebon: Penerbit Budaya Cirebon.

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top