Maca

Ibu Trisnawati: Dua Dekade Menjaga Jantung Ilmu di UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Oleh : Syibli Maufur,M.Pd  (Kepala Pusat Perpustakaan UINSSC)

Pendahuluan

Bagi sebagian orang, perpustakaan mungkin hanya deretan rak buku, meja baca, dan komputer katalog. Tetapi bagi Ibu Trisnawati, staf UPT Perpustakaan UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon, perpustakaan adalah rumah kedua. Tempat ia mengabdi dengan penuh cinta sejak pertama kali menjadi pegawai pada tahun 2006, tempat ia berinteraksi dengan mahasiswa, dan tempat ia menemukan kebahagiaan sederhana yang tak tergantikan.

Di usianya yang ke-55, dengan 19 tahun pengabdian, beliau kini kembali bertugas di bagian pengembalian dan pengolahan buku. Dari balik meja sederhana, ia menyambut buku-buku yang kembali dari tangan mahasiswa, membersihkan, merapikan, dan menempatkannya kembali ke rak ilmu.

Awal Langkah di Perpustakaan

Tahun 2006 menjadi titik awal perjalanan Ibu Trisnawati di UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon. Sejak awal, ia langsung ditempatkan di UPT Perpustakaan. Suasana tenang, aroma buku yang khas, dan antusiasme mahasiswa yang mencari referensi membuatnya merasa betah.

“Perpustakaan itu unik, penuh warna,” kenangnya. Setiap hari ia melihat wajah-wajah mahasiswa yang bersemangat menggali ilmu. Ia merasa, pekerjaannya bukan hanya soal merapikan koleksi, tetapi juga menjadi bagian dari perjalanan akademik para mahasiswa.

Perjalanan Berpindah Unit

Meski merasa cocok di perpustakaan, perjalanan kariernya tidak selalu berada di tempat yang sama. Pada tahun 2017, ia dipindahkan ke unit-unit lain di lingkungan UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon. Selama beberapa tahun, ia bertugas di berbagai bidang administrasi dan layanan.

Pengalaman itu menambah wawasannya tentang dinamika kerja di kampus, namun ia mengaku selalu merindukan suasana perpustakaan. “Ada rasa yang berbeda ketika bekerja di unit lain. Rasanya seperti ada yang hilang. Perpustakaan itu tempat yang paling cocok untuk saya,” katanya.

Kerinduan itu akhirnya terobati pada tahun 2024, ketika ia kembali ke UPT Perpustakaan. Baginya, kepulangan itu seperti pulang ke rumah setelah sekian lama berpisah.

Menata Buku, Menata Ilmu

Kini, Ibu Trisnawati kembali mengabdikan diri di bagian pengembalian dan pengolahan buku. Setiap hari ia menerima koleksi yang kembali dari mahasiswa. Buku-buku itu ia periksa kondisinya, dibersihkan, lalu dikembalikan ke rak sesuai klasifikasi.

“Kalau salah letak, mahasiswa bisa kesulitan mencari. Jadi harus teliti,” ujarnya.

Selain itu, ia juga mengurus pengolahan koleksi baru: memberi label, nomor panggil, hingga input ke sistem digital. Menurutnya, pekerjaan ini mungkin terlihat sepele, namun tanpa pengolahan yang rapi, buku tidak akan mudah ditemukan. “Setiap buku itu seperti anak yang harus diberi identitas agar tidak hilang,” tambahnya.

Cerita Suka

Ada kebahagiaan tersendiri setiap kali ia melihat mahasiswa berhasil menemukan buku yang mereka cari. Beberapa mahasiswa bahkan kembali lagi hanya untuk mengucapkan terima kasih. “Itu momen yang paling membahagiakan. Rasanya kerja saya benar-benar bermanfaat,” ucapnya dengan mata berbinar.

Ia juga senang melihat mahasiswa betah berlama-lama membaca. Baginya, suasana hening di ruang koleksi adalah tanda bahwa ilmu sedang bekerja dalam diam.

Cerita Duka

Namun, tidak semua kisah indah. Ia kerap merasa sedih ketika ada buku yang rusak atau bahkan hilang. “Buku itu bukan sekadar benda, tapi ilmu. Kalau hilang, rasanya seperti kehilangan sesuatu yang berharga,” ungkapnya pelan.

Meski demikian, ia selalu memilih bersabar. Ia percaya perpustakaan juga mendidik mahasiswa untuk bertanggung jawab. Bukan hanya soal mengembalikan buku, tapi juga soal menjaga amanah ilmu.

Perpustakaan sebagai Rumah Kedua

Hari-harinya kembali dipenuhi rutinitas sederhana yang ia cintai: menyambut buku yang kembali, memproses koleksi baru, hingga membantu mahasiswa mencari literatur. Semua itu ia jalani dengan ketekunan.

“Perpustakaan membuat saya merasa tenang. Rasanya seperti rumah kedua,” katanya.

Baginya, perpustakaan bukan sekadar tempat kerja, tetapi ruang hidup yang membentuk kesabaran, kedisiplinan, dan cinta pada ilmu.

Pesan untuk Mahasiswa

Di sela aktivitasnya, Ibu Trisnawati sering menyampaikan pesan sederhana kepada mahasiswa: datanglah ke perpustakaan bukan hanya ketika ada tugas. Bacalah buku untuk memperkaya wawasan, bukan sekadar kewajiban akademik.

“Jagalah buku-buku ini. Mereka bukan hanya milik kita sekarang, tetapi juga untuk generasi setelah kalian,” ujarnya penuh harap.

Harapan di Ujung Pengabdian

Kini, setelah 19 tahun mengabdi, Ibu Trisnawati menatap masa depan perpustakaan UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon dengan penuh doa. Ia berharap layanan digital semakin berkembang, tanpa melupakan keistimewaan buku cetak.

“Teknologi memang penting, tapi sensasi membuka buku itu berbeda. Harapan saya, keduanya bisa berjalan bersama,” katanya sambil tersenyum.

Ia ingin perpustakaan menjadi kebanggaan kampus, pusat ilmu yang hidup di hati mahasiswa, bahkan setelah mereka lulus.

Penutup

Kisah Ibu Trisnawati adalah kisah pengabdian yang tulus. Sejak 2006 ia sudah bersama perpustakaan, sempat berpindah ke unit lain pada 2017, lalu kembali lagi pada 2024. Semua perjalanan itu memperkaya pengalaman, tetapi hatinya selalu tertambat pada rak-rak buku.

Dari balik meja pengembalian hingga ruang pengolahan koleksi, ia merawat ilmu dengan ketelitian dan kesabaran. Di balik rutinitas sederhana, ia menyalakan semangat akademik mahasiswa.

Pengabdiannya membuktikan bahwa menjaga ilmu tidak selalu harus berada di panggung depan. Kadang, pengabdian itu justru hadir dari balik rak-rak sunyi, dari tangan-tangan yang setia memastikan buku tetap terawat, agar ilmu terus mengalir bagi generasi berikutnya. Dipublish oleh @Toh

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top